
CANBERRA - Sebuah dewan pertanahan yang mewakili masyarakat Aborigin menempuh upaya hukum terhadap Pemerintah Wilayah Utara (Northern Territory/NT) di Australia terkait dampak tambang seng dan timbal.
Melansir Xinhua News, Dewan Pertanahan Utara (Northern Land Council/NLC), yang mendukung pemilik tradisional wilayah tersebut, pada Kamis (17/12/2020) mengajukan klaim ganti rugi atas kerusakan yang tidak disebutkan di Pengadilan Federal.
Tuduhannya adalah tambang seng dan timbal Sungai McArthur telah mengakibatkan kerusakan pada situs-situs suci.
Pembangunan tambang tersebut dimulai pada 1992 setelah keberatan dari masyarakat Aborigin Gudanji, Yanyuwa dan Yanyuwa-Marra ditolak oleh pemerintah NT dan pemerintah federal.
"Sejak deposit seng, timbal dan perak pertama kali diajukan untuk ditambang, pemegang hak pribumi berusaha melindungi tanah dan budaya mereka serta berusaha menyuarakan dampak sosial dan lingkungan dari tambang yang diusulkan," kata Marion Scrymgour, Kepala Eksekutif NLC, dalam sebuah pernyataan.
"(Namun) secara umum, mereka telah diabaikan."
Pemerintah NT pada November menyetujui perluasan tambang dalam skala besar, yang dioperasikan oleh perusahaan Swiss Glencore, bertentangan dengan saran dari Otoritas Perlindungan Wilayah Aborigin (Aboriginal Areas Protection Authority/AAPA) yang meminta konsultasi lebih lanjut dengan komunitas Aborigin terkait potensi kerusakan pada situs-situs suci.
Casey Davey, seorang pria Gudanji, mengatakan tambang tersebut telah berdampak pada situs budaya secara signifikan.
"Totem kami terletak tepat di tempat mereka menggali tanah untuk pengalihan sungai dan penambangan terbuka," katanya dalam pernyataan NLC.
"Kami harus mendapat kompensasi untuk itu dan atas kerusakan pada pohon suci kami," tutur Davey.
"Ini menyedihkan bagi kami, dengan apa yang terjadi di tambang, terutama pada situs kami."